Korupsi dan Soal Integritas Institusi Pendidikan

 

RUJUKANMEDIA.com – Institusi Pendidikan adalah salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam membentuk calon penerus bangsa yang berintegritas. Namun, korupsi di sektor pendidikan masih terjadi dan mengindikasikan adanya masalah integritas di dunia pendidikan Indonesia. Pada 2023, kasus korupsi di sektor pendidikan masih terjadi, menambah daftar 240 kasus korupsi dengan total kerugian negara lebih dari Rp 1,6 triliun.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2023 ada tiga kasus korupsi di sektor pendidikan yang berhasil diungkap yaitu, Korupsi pengadaan pelaksanaan konstruksi pembangunan gedung kampus IPDN Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dengan kerugian negara Rp 27 miliar, Korupsi pengadaan tanah pembangunan SMKN 7 Tangsel dengan kerugian negara Rp 10,5 miliar.

Selain itu kasus korupsi penerimaan Mahasiswa baru di Universitas Lampung dengan nllai suap Rp5 miliar.

Data ini memperpanjang daftar kasus korupsi di sektor pendidikan dan kerugian negara triliunan rupiah.

Baca Juga : Menimbang Pengembalian Kewenangan SMA-SMK ke Kabupaten dan Kota

Indonesian Coruption Watch (ICW) mencatat terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak Aparat Penegak Hukum (APH) sepanjang Januari 2016 hingga September 2021.

Kasus tersebut terjadi dalam rentang waktu 2007 hingga 2021 dan menimbulkan kerugian negara Rp 1,6 triliun.

240 korupsi pendidikan terbanyak berkaitan dengan penggunaan dana BOS, yaitu terdapat 52 kasus atau 21,7% dari total kasus. Korupsi dana BOS bahkan masih tetap terjadi meski skema penyaluran dana telah diubah sejak 2020, dari yang sebelumnya ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) menjadi ditransfer langsung ke rekening sekolah.

“Sejauh ini, terdapat 2 korupsi dana BOS tahun anggaran 2020 yang telah ditindak oleh kejaksaan, yaitu di Kota Bitung, Sulawesi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan modus pemotongan oleh oknum Dinas Pendidikan dan kegiatan fiktif di sekolah,” demikian hasil kajian ICW yang dipublikasin melalui laman antikorupsi.org.

Selanjutnya, korupsi terbanyak yaitu korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang/ jasa non infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya.

Pengadaan yang dikorupsi ini berasal dari beragam program dan sumber anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran Kemendikbud, anggaran Kemenag, dan APBD. Sebagian diduga bersumber dari DAK, sebab terdapat kasus-kasus yang tidak disebutkan dengan jelas sumber anggarannya. Sedangkan kasus yang dapat diidentifikasi bersumber dari DAK berjumlah 34 kasus.

Kasus korupsi pendidikan yang ditindak APH pada 2016-September 2021 ini melibatkan 621 tersangka. Dilihat dari latar belakangnya, tersangka didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pendidikan dan instansi lain (di luar ASN di sekolah), yaitu sebanyak 288 atau 46,3%. Secara lebih rinci, ASN yang dimaksud merupakan ASN Staf di Dinas Pendidikan (160 tersangka); ASN instansi lain seperti kementerian, Dinas Sosial, Dinas Syariat Islam, Dinas Komunikasi dan Informasi, dll (84 tersangka); dan Kepala Dinas Pendidikan (44 tersangka).

Tersangka terbanyak kedua berasal dari pihak sekolah, yaitu 157 tersangka atau 25,3% dari total tersangka. Kepala dan wakil kepala sekolah adalah pihak sekolah yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (91 orang) dan disusul pihak lain seperti guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis kegiatan (36 orang), serta staf keuangan atau bendahara sekolah (31 orang). Data ini menunjukkan fakta bahwa korupsi pendidikan juga marak terjadi di sekolah, tempat peserta didik menuntut ilmu yang seharusnya mengajarkan sekaligus mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan.

Penyedia pengadaan menempati posisi ketiga terbanyak yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi pendidikan. Penyedia yang dimaksud mencakup penyedia/ rekanan terpilih untuk membangun bagunan fisik dan non fisik maupun penyedia sub kontrak. Terdapat 125 tersangka atau 20% yang berasal dari penyedia. Terdapat pula kepala dan wakil kepala daerah yang menjadi tersangka (7 orang). Mereka adalah Bupati Jembrana I Gede Winasa, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, dan Pejabat Bupati Lampung Timur Tauhidi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2016 serta Bupati Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017.

Selaras dengan data yang menunjukkan korupsi pendidikan banyak dilakukan oleh ASN Dinas Pendidikan dan pihak sekolah, posisi teratas tempat terjadinya korupsi juga ditempati oleh Dinas Pendidikan di peringkat pertama dan sekolah di peringkat kedua. Terdapat 124 kasus  (51,6%) kasus korupsi pendidikan yang terjadi di level Dinas Pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 225,2 miliar. Korupsi di Dinas Pendidikan umumnya berupa mark up anggaran (20%), penggelapan anggaran (15%), dan pungutan liar (pungli) atau pemerasan (12,6%).

Sedangkan korupsi di sekolah kerap terjadi berkaitan dengan penggunaan dan laporan pertanggungjawaban dana BOS (49% atau 37 dari 75 kasus). Kasus korupsi di sekolah terbanyak kedua merupakan pungli. Mulai dari pungli penerimaan siswa baru, dana UN, operasional Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), sertifikasi guru, penebusan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), hingga keperluan kelas.

Meski dari sisi jumlah kasus tak sebanyak korupsi di Dinas Pendidikan dan sekolah, korupsi di perguruan tinggi cukup banyak ditindak APH dan menempati posisi ketiga. Namun meski demikian, korupsi di perguruan tinggi jika dilihat dari nominal kerugian negaranya jauh lebih besar dibanding korupsi di Dinas Pendidikan. 20 kasus korupsi perguruan tinggi yang ditindak oleh APH telah merugikan negara Rp 789,8 miliar.

Dilihat dari tahun terjadinya korupsi, korupsi sektor pendidikan diketahui terus terjadi di tengah pandemi Covid-19. Sebanyak 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan Covid-19. Kasus tersebut yaitu korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama (Kemenag) RI di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Wajo, dan Kota Pasuruan dengan modus pemotongan bantuan.

Dari penelusuran ICW dan jaringan di Aceh dan Medan, juga ditemukan potensi korupsi pada objek yang sama juga banyak terjadi dengan beragam modus, mulai dari disalurkan pada lembaga penerima yang tak memenuhi persyaratan, penerima fiktif, hingga BOP digunakan tidak sesuai peruntukan.

 

 

Tinggalkan Balasan