Oleh : Aqmarin Grandis W
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Awal tahun 2020 kita dikagetkan akan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat dunia. Banyak istilah baru yang tidak kita ketahui dan tidak kita kenal hal ini membuat masyarakat dunia menjadi kebingungan dan panik atas apa yang sedang terjadi pandemi covid-19 sudah mulai menyambar diseluruh dunia.
WHO atau badan kesehatan dunia secara resmi mendeklarasikan virus Corona sebagai pandemi pada tanggal 9 Maret 2020. Pernyataan tersebut membuat masyarakat dunia merasa cemas dan resah. Pandemi ini membuat tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah direncanakan menjadi berantakan. Berbagai aspek kehidupan terkena dampak, banyak orang merasa stress dan depresi, kehilangan pekerjaan, bahkan ada yang kehilangan anggota keluarga tercinta. Semua hal ini berpengaruh besar pada kestabilan perekonomian negara kita.
Kini sudah hampir dua tahun setengah kita menjalani kehidupan di tengah pandemi covid-19, meski pemerintah telah memberikan kebijakan baru seperti Adaptasi kebiasaan baru, tetapi masih banyak diantra kita yang merasa kesulitan dan merasa Allah tidak adil. Hal ini wajar sebab manusia memiliki sifat berkeluh-kesah. Ketika sedang diberi anugerah berupa kenikmatan, misalnya rezeki yang melimpah, kita akan merasakan kebahagian tak terkira. Sementara ketika tengah diberi ujian atau musibah berupa penderitaan, kita akan merasakan kesedihan yang terkadang sampai berlarut-larut.
Saat ini masalah tersebut terus dan terus berputar bagaikan lingkaran setan yang seolah-olah tidak ada solusinya. Padahal Islam telah memberikan solusi kongkrit melalui praktek hablun min al-nas dengan prinsip mu’amalat syar’iyyah seperti zakat, infaq dan shadaqah. Untuk mengatasi permasalahan perekonomian. Sebagaimana dalam firman Allah di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا {النساء : 9}
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” [QS. an-Nisa’: 9]
Firman Allah tersebut mengisyaratkan agar kita umat Islam memiliki ekonomi yang kuat sebagai cara untuk membangun keshalehan umat. Mari kita kaji secara mendalam. Imam Ibnu Katsir di dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir jilid ke-3 berawal dari sebuah pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqash kepada Saidina Muhammad Rasulullah saw. “wahai Rasulullah aku memiliki harta yang banyak akan tetapi pewarisku hanya satu orang anak, maka bolehkah jika aku bersedekah dua pertiganya? Rasul menjawab : “tidak boleh”. Bolehkah jika seperduanya? Rasul menjawab : “tidak boleh”. Bagaimana jika sepertiganya? Rasul menjawab : “tidak boleh” seraya melanjutkan perkataannya :
إنك إن تذر ورثتك الأغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس
Artinya : “sungguh aku mengharapkan jika engkau dapat warisi keturunan yang kaya dan berharta dan itulah yang terbaik dari pada engkau mewarisi keturunan yang lemah lagi papa serta hanya mengharapkan belas kasih orang lain.”
Kisah ini menjelaskan kepada kita bahwasanya Islam menginginkan agar setiap orangtua dapat meninggalkan generasi penerus mereka dalam keadaaan yang kuat fisiknya, hebat IQ nya, dan mapan ekonominya. Syekh Mustofa al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan bahwa pada kalimat “ خافوا عليهم ”, sebagai suatu rasa kekhawatiran bagi setiap insan jikalau mereka menelantarkan dan menyia-nyiakan hidup anak-anaknya, mengapa demikian? sebab tolak ukur seseorang hidup sejahtera, makmur atau tidaknya suatu bangsa dilihat dari keadaan ekonominya, apabila ekonominya baik, maka masyarakatnya hidup dengan keadaan yang baik, akan tetapi jikalau ekonominya buruk maka pasti bangsanya pun akan hidup dalam keadaan terpuruk.
Untuk menyelesaikan dan memecahkan permasalahan ekonomi yang sedang kita alami. Maka timbullah pertanyaan yang perlu kita utarakan, bagaimanakah teknis untuk merealisasikan prinsip dan metode tersebut dalam membangun keshalehan sosial umat? Sebagai jawabannya, mari kita renungkan firman Allah dalam surat adz-Dzariyat ayat 19 :
وَ فِى اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ للِسَّا ئِلِ وَ الْمَحْرُ وْمِ { الذاريات : 19}
Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.”
Firman Allah pada ayat yang baru saja kita simak bersama dengan tegas dan jelas mengisyaratkan kepada kita, bahwa pemberdayaan ekonomi syari’ah, diproyeksikan demi kesejahtraan bersama. Islam menolak keras sistem ekonomi dalam bentuk monopoli, oligopoli dan ekonomi yang diorientasikan hanya untuk kepentingan pribadi. Prinsip ini haruslah kita aplikasikan di negara kita jikalau bangsa ini menginginkan kemajuan dari segi ekonomi demi pembangunan keshalehan sosial umatnya.
Menurut KH Imam Zarkasih ada beberapa penyebab perkonomian umat muslim sulit berkembang, pertama. Banyak diantara kita yang hanya berorientasi pada keakheratan saja. Mereka memiliki pemahaman yang sempit terhadap hadits Nabi Muhammad SAW “ad-dunya jiifah” dunia ini adalah bangkai yang menjijikkan. Dan “ad-dunya sijnul mukminin” dunia adalah penjara bagi umat Islam, pemahaman uang sempit terhadap kedua hadits ini mengakibatkan pemasalahan-permasalahan duniawi ditinggalkan dan Islam pada akhirnya identik dengan masalah kemiskinan.
Kedua. Kemunduran ekonomi umat Islam disebabkan dalam melaksanakan kegiatan ekonomi mayoritas umat Islam masih berpikir dengan corak agraris dan kolot. Padahal saat ini dunia bisnis membutuhkan orang-orang yang kreatif dan siap untuk saling berkompetisi dengan yang lainnya.
Adapun solusi yang diberikan oleh Prof. Dr. Didin Hafifudin agar kemiskinan tidak semakin merebak, maka ada tiga hal yang harus kita lakukan berkaitan dengan kewajiban zakat serta melaksanakan infaq dan shadaqah. Pertama. Kita harus mengeluarkan, memasyarakatkan dan memupuk gerakan sadar zakat, infaq dan shadaqah dalam setiap diri bangsa kita. Kedua, kita harus membentuk lembaga professional yang mengatur jalannya harta orang-orang kaya. Ketiga, kita harus memberdayakan metode zakat, infaq dan shadaqah untuk mengentaskan kemiskinan dalam membangun sifat keshalehan sosial bagi diri setiap insan.
Berdasarkan prinsip ini maka dapat dipahami bahwa metode zakat, infaq dan shadaqah merupakan cara yang sangat progresif dalam membangun ekonomi demi terciptanya sifat dan sikap keshalehan sosial umat. Kita dapat saksikan usaha masyarakat Indonesia dalam menggerakan semangat juang membangun perekonomian bangsa dengan adanya pasal yang mengatur secara tersendiri pemasyarakatan dan pedayagunaan zakat dalam Undang-undang nomer 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Oleh sebab itu, untuk menopang prinsip ini agar keshalehan sosial umat dapat tercipta maka Rasulullah SAW bersabda:
من كان له مال فليتصدق بماله ومن كان له قوة فليتصدق بقوته ومن كان له علم فليتصدق بعلمه
Artinya : “siapa yang memiliki harta maka bersedekahlah dengan hartanya, siapa yang memiliki kekuasaan maka bersedekahlah dengan kekuasaannya, siapa yang memiliki ilmu maka bersedekahlah dengan ilmunya.”
Upaya mengimplementasikan sikap at-ta’awun / saling tolong menolong dengan memberdayakan zakat, infaq dan shadaqah dalam membangun keshalehan sosial bagi kita semua dan dapat membantu kita bangkit dari keterpurukan pandemic covid-19 serta mengatasi permasalahan ekonomi dan keadilan. Tentunya tak lupa semua usaha itu pun harus dilandasi dengan doa agar kita diberikan kemudahan dalam aktivitas kita untuk tetap berusaha memperkuat perekonomian bangsa demi terciptanya kehidupan rakyat yang sejahtera. Amin ya Robbal ‘alamin.
Referensi
Al-Jauziyyah, I. Q. (2012). Jangan Menyerah Ada Hikmah di Balik Musibah. Jakarta: Qisthi Press.
Bin Ishaq Al-Sheikh, A. (2003). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i.
Yuswanto, S. E. . (2019). Saya Bersyukur, Saya Bahagia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.